Sistem Pemilu yang Cocok Untuk Indonesia (DISTRIK atau PROPORSIONAL)

Posted by Amhy Minggu, 29 Desember 2013 0 comments
Pendahuluan
Konsep Negara demokrasi sudah banyak diterapkan hampir diseluruh Negara di muka bumi, baik pada Negara kerajaan atau republik. Paham demokratis ini banyak diikuti karena demokrasi sendiri didasari oleh nilai-nilai yang positif dan mengandung unsur-unsur moral universal[1].
Sistem demokrasi yang menjamin akan hak-hak sipil dan hak politik rakyat dalam suatu Negara seperti yang dianut oleh Indonesia yang secara eksplisit disebutkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD 1945)[2]. Oleh karena itu, Negara yang menyatakan dirinya sebagai negara demokrasi dalam konstitusinya, pasti melaksanakan kegiatan pemilu untuk memilih pemimpin negara atau pejabat publik yang baru. Pemilihan umum merupakan bagian dari pelaksanaan prinsip demokrasi.
Pemilihan umum dalam Negara demokrasi Barat dewasa ini menjadi model ideal bagi Negara demokrasi pada Negara-negara yang sementara berkembang yang mengimpor konsep Negara modern demokrasi[3]. Pada Negara demokrasi sementara berkembang yang mengimpor konsep demokrasi barat itu, pemilu setidak-tidaknya merupakan peristiwa menegangkan bahkan kadangkala merupakan peristiwa berdarah, sehingga sering dihindari dengan cara menunda pemilu. Hal ini juga sangat berpengaruh terhadap sistem pemilu yang digunakan dalam suatu Negara.
Ada dua sistem pemilihan umum yang sering digunakan oleh beberapa Negara, yaitu sistem pemilu Distrik dan Proporsional. Dengan keberadaan sistem pemilu tersebut, Indonesia yang menganut sistem demokrasi dan melaksanakan pemilihan umum tentunya menggunakan salah satu dari sistem tersebut, atau bahkan kedua-duanya. Ketidakjelasan sistem pemilu yang digunakan tersebut membuat Indonesia sering mengalami masalah dalam pemilihan umum.
Untuk itu berangkat dari permasalahan tersebut maka kita perlu mengkualifikasikan sistem yang cocok dan baik dan sesuai dengan kultur politik yang ada di Indonesia. Oleh karena itu melalui penulisan makalah ini akan menjelaskan tentang sistem pemilu distrik dan sistem pemilu proporsional serta sistem pemilu yang cocok untuk Indonesia. 

[1] Dr.Taufiqurrahman syahuri,S.H.,M.H, Tafsir Konstitusi berbagai Aspek Hukum, 2011, hlm.157.
[2] Pasal 1 ayat (2), Pasal 33 ayat (4), Pasal 18 ayat (4) UUD 1945
[3] Willy D.S Voll, S.H, Negara Hukum dalam Keadaan Pengecualian, 2013, hlm.57.


A.     SISTEM PEMILU DI INDONESIA
Pemilihan umum, selanjutnya disebut Pemilu, adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia Berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945[1]. Pemilihan Umum sebagai pelaksanaan prinsip demokrasi yang berlaku di Indonesia sudah diterapkan beberapa kali mulai sejak kemerdekaan hingga tahun 2009. Dalam sejarah perjalanan pelaksanaan pemilihan umum di Indonesia telah mengalami banyak persoalan dan beberapa pelanggaran, yaitu pelanggaran pidana pemilu, pelanggaran administrasi pemilu, dan pelanggaran penghitungan suara[2]. Pelanggaran penghitungan ini akan dinilai dan diluruskan oleh Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga Negara yang kewenangannya diatur dalam UUD 1945, yaitu salah satunya menyelesaikan sengeketa hasil pemilihan umum. Penilaian MK terhadap hasil rekapitulasi KPU merupakan penilaian konstitusional yang akan menilai dari sisi prosedur formal dan kebenaran materinya.
Dengan berbagai polemik yang terjadi mengenai pemilihan umum yang terjadi di Indonesia tidak terlepas dari sistem pemilihan umum yang digunakan, pemilihan umum tahun 1955 dan 2004 mempunyai kekhususan atau keistimewaan dibanding dengan pemilu ditahun lain yang telah dilakukan. Semua pemilihan umum tersebut tidak diselenggarakan dalam situasi yang vacuum, melainkan berlangsung di dalam lingkungan yang turut menentukan hasil pemilihan umum itu sendiri. Dari pemilihan umum-pemilihan umum tersebut juga dapat diketahui adanya upaya untuk mencari sistem pemilihan umum yang cocok untuk Indonesia[3]. Untuk menentukan mana yang cocok maka kita perlu mengetahui sejarah pelaksanaan pemilihan umum di Indonesia dari masa ke masa seperti berikut ini :
a.      Zaman Demokrasi Parlementer (1945-1959)
Awal pelaksanaan pemilihan umum di Indonesia direncanakan mulai awal bulan oktober 1945, tetapi baru dilaksanakan oleh kabinet Burhanuddin Harahap pada tahun 1955. Saat itu pemungutan suara dilakukan dua kali, yaitu satu kali untuk memilih anggota DPR pada bulan September, dan satu kali untuk memilih anggota konstituante pada bulan Desember.
Sistem yang digunakan ialah sistem proporsional. Pada waktu itu sistem itu, sebagaimana yang dicontohkan oleh Belanda, Merupakan satu-satunya sistem pemilihan umum yang dikenal dan dimengerti oleh para pemimpin Negara.
Pemilihan umum diselengarakan dalam suasana khidmat, karena merupakan pemilihan umum pertama dalam suasana kemerdekaan. Pemilihan umum berlangsung sangat demokratis, tidak ada partai-partai, dan tidak ada usaha-usaha pemerintah untuk mengintervensi terhadap partai-partai sekalipun kampanye berjalan seru, terutama antara Masyumi dan PNI.
Namun stabilitas politik yang sangat diharapkan dari pemilihan umum tidak terwujud. Kabinet Ali (I dan II) yang memerintah selama dua tahun dan yang terdiri atas koalisi tiga besar: Masyumi, PNI, dan NU, ternyata tidak kompak dalam mengahadapi beberapa persoalan, terutama yang terkait dengan konsepsi presiden yang diumumkan pada tanggal 21 Februari 1957. Karena beberapa partai koalisi tidak menyetujuinya, akhirnya beberapa manteri, antara lain dari masyumi, keluar dari cabinet. Dengan pembubaran Konstituante oleh Presiden Soekarno zaman Demokrasi Parlementer berakhir dan kemudian mulai zaman Demokrasi Terpimpin.[4]

b.      Zaman Demokrasi Terpimpin (1959-1965)
Sesudah mencabut Maklumat Pemerintah November 1945 tentang kebebasan untuk mendirikan partai, Presiden Soekarno mengurangi jumlah partai menjadi 10. Kesepuluh partai ini : PNI, Masyumi, NU, PKI, Partai Katolik, Partindo, Partai Murba, PSII Arudji, IPKI, dan Partai Islam Perti, yang kemudian ikut dalam pemilihan umum 1971 di masa orde baru. Zaman demokrasi terpimpin tidak diadakan pemilihan umum[5].
c.       Zaman Demokrasi Pancasila (1965-1998)
Sesudah runtuhnya rezim Demokrasi Terpimpin yang semi-otoriter ada harapan besar dikalangan masyarakat untuk mendirikan suatu sistem politik yang demokratis dan stabil. Berbagai forum diskusi diadakan, salah satu inti pembahasannya adalah langkah praktis untuk mengurangi jumlah partai politik, karena dianggap mengakibatkan rapuhnya sistem politik.
Salah satu caraya adalah melalui sistem pemilihan umum, saat itu diperbincangkan bukan hanya sistem proporsional yang sudah lama dikenal, tetapi juga sistem distrik, yang di Indonesia masih sama sekali baru. Seminar berpendapat bahwa sistem distrik dapat mengurangi partai politik secara alamiah, namun dikhawatirkan merugikan eksistensi partai-partai politik, dan juga karena ada usul untuk memberikan jatah kursi di DPR kepada ABRI. Sehingga sistem distrik ditolak, maka semua pemilihan umum berikutnya dilaksanakan dengan memakai sistem proporsional.
d.      Zaman Reformasi
Reformasi membawa beberapa perubahan fundamental. Pertama, dibuka kesempatan kembali untuk bergeraknya partai politik secara bebas, termasuk mendirikan partai baru. Ketentuan ini kemudian tercermin dalam pemilihan umum 1999 yang diselenggarakan dengan disertai banyak partai. Kedua, pada pemilihan umum 2004 untuk pertama kali dalam sejarah Indonesia diadakan pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung. Ketiga, diadakan pemilihan untuk suatu badan baru, yaitu Dewan Perwakilan Daerah yang akan mewakili daerah secara  khusus.
Untuk pemilihan anggota DPR dan DPRD digunakan sistem proporsional dengan stelsel daftar terbuka, sehingga pemilih dapat memberikan suaranya secara langsung kepada calon yang dipilih. Ada warna sistem distrik dalam penghitungan perolehan kursi DPR dan DPRD pada pemilihan umum 2004[6].
Dalam perjalanan sejarah pemilihan umum di Indonesia juga tidak konsisten dalam menggunakan sistem pemilihan umum yang dipakai, sistem distrik atau proporsional.
B.      SISTEM PEMILU DISTRIK DAN PROPORSIONAL
Dalam ilmu politik dikenal bermacam-macam sistem pemilihan umum dengan berbagai variasinya, akan tetapi umumnya berkisar pada dua prinsip pokok, yaitu[7] :
a.      Single-member Constituency (satu daerah pemilihan memilih satu wakil; biasanya disebut Sistem Distrik).
b.      Multi-member Constituency (satu daerah pemilihan memilih beberapa wakil; biasanya dinamakan Sistem Perwakilan Berimbang atau Sistem Proporsional).
Dalam sistem distrik, satu wilayah kecil (yaitu distrik pemilihan) memilih satu wakil tunggal (single-member constituanty) atas dasar pluralitas (suara terbanyak).
Dalam sistem proporsional, satu wilayah besar (yaitu daerah pemilihan) memilih beberapa wakil (multi-member constituency). Perbedaan pokok antara dua sistem ini ialah bahwa cara menghitung perolehan suara dapat menghasilkan perbedaan dalam komposisi perwakilan dalam parlemen bagi masing-masing partai politik.
Dinamakan sistem distrik karena wilayah Negara dibagi dalam distrik-distrik pemilihan (daerah-daerah pemilihan) yang jumlahnya sama dengan jumlah anggota lembaga perwakilan rakyat yang dikehendaki[8].
Sistem distrik merupakan sistem pemilihan yang paling tua dan didasarkan atas kesatuan geografis. Setiap kesatuan geografis (yang biasanya disebut “distrik” karena kecilnya daerah yang terkacup) memperoleh satu kursi dalam parlemen. Yang memakai sistem distrik misalnya Amerika, Inggris, dan India.
Sistem perwakilan proporsional ialah sistem dimana presentase kursi di lembaga perwakilan rakyat yang dibagikan kepada tiap-tiap partai politik, disesuaikan dengan presentase jumlah suara yang diperoleh tiap-tiap partai politik[9].
a.      Keuntungan Sistem Distrik
-          Sistem ini lebih mendorong kea rah integrasi partai-partai politik karena kursi yang diperebutkan dalam setiap distrik pemilihan hanya satu.
-          Fragmentasi partai dan kecenderungan membentuk partai baru dapat dibendung, malahan sistem ini bisa mendorong ke arah penyerdehanaan partai secara alami dan tanpa paksaan.
-          Karena kecilnya distrik, maka wakil yang terpilih dapat dikenal oleh komunitasnya, sehingga hubungan dengan konstituen lebih erat.
-          Bagi partai besar sistem ini menguntungkan karena melalui distortion effect dapat meraih suara dari pemilih-pemilih  lain.
-          Lebih mudah bagi suatu partai untuk mencapai kedudukan mayoritas dalam parlemen, sehingga tidak perlu diadakan koalisi dengan partai lain.
-          Sistem ini sederhana dan murah untuk diselenggarakan.
b.      Kelemahan Sistem Distrik
-          Sistem ini kurang memperhatikan kepentingan-kepentingan  partai kecil dan golongan-golongan ini terpencar dalam berbagai distrik.
-          Sistem ini kurang representative dalam arti bahwa partai yang calonnya kalah dalam suatu distrik kehilangan suara yang telah mendukungnya.
-          Sistem distrik dianggap kurang efektif dalam masyarakat yang plural karena terbagi dalam kelompok etnis, religious, dan tribal, sehinga menimbulkan anggapan bahwa suatu kebudayaan nasional yang terpadu secara idiologis dan etnis merupakan prasyarat bagi suksesnya sistem ini.
-          Ada kemungkinan si wakil cenderung untuk lebih memperhatikan kepentingan distrik serta warta distriknya, daripada kepentingan nasional.
c.       Keuntungan Sistem Proporsional
-          Sistem proporsional dianggap representative, karena jumlah kursi partai dalam parlemen sesuai dengan jumlah suara masyarakat yang diperoleh dalam pemilu.
-          Sistem proporsional dianggap lebih demokratis dalam arti lebih elagitarian karena praktis tanpa ada distorsi, yaitu kesenjangan antara suara nasional dan jumlah kursi dalam parlemen, tanpa suara yang hilang atau wasted.

d.      Kelemahan Sistem Proporsional
-          Sistem ini kurang mendorong partai-partai untuk berintegrasi atau kerja sama satu sama lain dan memanfaatkan persamaan-persamaan yang ada, tetapi sebaliknya.
-          Sistem ini mempermudah fragmentasi partai. Jika timbul konflik dalam suatu partai, anggotanya cenderung memisahkan diri dan mendirikan partai baru.
-          Sistem proporsional memberikan kedudukan yang kuat pada pimpinan partai melalui sistem daftar karena pimpinan partai menentukan daftar calon.
-          Wakil yang terpilih kemungkinan renggang ikatannya dengan konstituennya.
-          Karena banyaknya partai yang bersaing, sulit bagi suatu partai untuk meraih mayoritas (50% + satu) dalam parlemen, yang diperlukan untuk membentuk pemerintahan[10].
Dari penjelasan mengenai keuntungan dan kelemahan sistem pemilihan umum diatas serta perjalanan pemilihan umum Indonesia sejak pertama kali hingga saat ini sedikit dapat menggambarkan akan sistem yang cocok dan baik untuk Indonesia yang sesuai dengan konteks kultur politiknya dan kemajemukan masyarakatnya.



[1] Gradien Mediatama, Undang-Undang Pemilu & Partai Politik 2008.hlm.11.
[2] Dr.Taufiqurrahman syahuri,S.H.,M.H, Tafsir Konstitusi berbagai Aspek Hukum, 2011, hlm.156
[3] Prof. Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta, 2008, hlm.473.
[4] Prof. Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta, 2008, hlm.473-474.
[5] Prof. Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta, 2008, hlm.474
[6] Prof. Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta, 2008, hlm.487-488.
[7] Prof. Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta, 2008, hlm.461.
[8] Romi Librayanto, S.H.,M.H Ilmu Negara (Suatu Pengantar).2009.hlm.204.
[9] Romi Librayanto, S.H.,M.H Ilmu Negara (Suatu Pengantar).2009.hlm.204-205.
[10] Prof. Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta, 2008, hlm.469.

0 comments:

Posting Komentar

Pengikut

Teman