Sengketa Beberapa Lembaga Negara

Posted by Amhy Senin, 18 November 2013 0 comments
1. LPSK dan POLRI
Sengketa antara dua lembaga negara yaitu kepolisian dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), dimana Kepolisian mempunyai kewenangan untuk menahan seseorang yang menjadi tersangka dalam suatu tindak pidana dan LPSK  yang mempunyai kewenangan untuk melindungi seseorang yang dikategorikan sebagai saksi pelapor, karena kewenangan kepolisian tersebut yang akhirnya kepolisian merasa mempunyai kewenangan untuk menahan seorang saksi pelapor yang juga tersangka, sehingga LPSK merasa tidak efektif dalam pemberian perlindungan terhadap saksi apabila saksi pelapor yang juga tersangka ditahan di Kepolisian, karena LPSK akan mengalami kesulitan untuk berinteraksi dengan saksi dan melindungi hak-haknya. Akan tetapi sengketa ini tidak bisa dibawah ke Mahkamah Konstitusi untuk diselesaikan karena status kedua lembaga tersebut berbeda dimana Kepolisian sumber kewenangannya dari UUD dan LPSK sumber kewenangannya dari UU.
2.       KPK dan POLRI
Soal penanganan kasus dugaan korupsi pengadaan alat uji simulator surat izin mengemudi (SIM), dengan salah seorang tersangka Inspektur Jenderal Djoko Susilo, Presiden SBY menilai KPK merupakan lembaga yang berwenang menanganinya.
Kisruh antara dua lembaga penegak hukum itu bermula saat KPK menggeledah Gedung Korlantas Polri di Jl MT Haryono, Jakarta Selatan, untuk mencari barang bukti kasus simulator SIM pada Mei 2012. Saat itu, KPK mengklaim bahwa kasus dugaan korupsi proyek pengadaan simulator SIM yang diusutnya sejak Januari 2012 telah naik ke tingkat penyidikan.
Namun, tim penyidik KPK tidak diperkenankan melakukan penggeledahan oleh Polri, dengan alasan tak mengantongi izin Kapolri. Pintu gerbang Gedung Korlantas Polri bahkan saat itu dikunci dan dijaga ketat agar petugas KPK tak dapat keluar dan membawa dokumen dari Gedung Korlantas Polri.
Untuk meredam situasi, Ketua KPK Abraham Samad langsung menggelar pertemuan dengan Kapolri Jenderal Pol Timur Pradopo di Mabes Polri. Usai Abraham dan Jenderal Timur bertemu, petugas KPK akhirnya menggeledah dan membawa sejumlah barang dan dokumen yang diduga terkait dengan kasus simulator SIM.

3.       MA dan KY
Konflik MA versus KY pernah mencuat pada 2006 ketika para hakim agung gerah dengan pernyataan dan tindakan KY memanggil dan memeriksa hakim dan hakim agung atas laporan pengaduan masyarakat yang diterima KY. Tindakan KY tersebut dinilai para hakim sebagai ancaman terhadap independensi hakim dalam memeriksa dan memutus perkara.
Kala itu  31 hakim agung mengajukan uji materi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial. Mereka mendalilkan bahwa hakim agung dan hakim MK tidak termasuk hakim yang diawasi oleh KY.
Dalam putusannya, MK membuldoser seluruh ketentuan pengawasan dalam UU KY. MK memerintahkan DPR untuk segera merevisi UU KY. Namun, hingga kini revisi belum juga selesai.
4.       DPR dan DPD
Ketua Komite IV DPD RI John Pieris (anggota DPD RI dari Maluku) menganggap DPR melakukan arogansi kekuasaan legislatif pada rapat kerja antara Komite I Dewan Perwakilan Daerah RI dan Komisi II DPR, mengenai pembahasan RUU Keistimewaan DIY, Rabu (26/1).
John juga menilai bahwa hegemoni kekuasaan ada di DPR, sementara DPD diberikan kekuasaan yang sifatnya "marginal power". Kondisi ini menafikan mekanisme "checks and balances" dari segi trias politica.
Menurut John, DPD RI selama ini terkesan ?ngotot? untuk mengawal kepentingan daerah, karena RUU yang berkaitan dengan kepentingan daerah-daerah harus menjadi domain DPD RI. "Saya tidak begitu percaya kalau kepentingan-kepentingan daerah itu diperjuangkan oleh partai politik, sama sekali saya tidak percaya. Karena DPR itu partai politik, jadi mereka akan memperjuangkan kepentingan partainya itu," katanya.
Pengamat politik dari LIPI Dr Siti Zuhro mengatakan bahwa DPR menafikan kesepakatan adanya bentuk bikameral, dengan tidak mengakomodasi keberadaan DPD. "Equality itu yang tidak ada dan ini adalah pantas kalau disebutkan arogansi karena ada upaya untuk mengerdilkan secara jelas dan nyata dari pihak DPR terhadap keberadaan dan upaya DPD untuk sebetulnya ingin menunjukkan kinerjanya," kata Siti.
Siti menambahkan, DPD sudah sangat serius merespon kekinian masalah, dalam hal ini berusaha merumuskan dan menuangkan dalam bentuk RUUK. Namun DPR tidak memberikan semangat, justru mendemoralisasi dan melumpuhkan. "Ada kesengajaan dalam perspektif politik ini pelumpuhan, apa yang sudah dimiliki tidak hanya semangat, tapi keberadaan dan umumnya memang tupoksi DPD dinafikan begitu saja," katanya.
5.       BPK dan MA
Ketua BPK Anwar Nasution mengatakan, pihaknya akan segera meminta fatwa Mahkamah Konstitusi terkait pelaporan Ketua BPK kepada Mabes Polri tentang Ketua MA yang menolak audit biaya perkara.
Menurut dia, langkah tersebut dilakukan BPK sesuai dengan ketentuan yang ada, seandainya memang terjadi perbedaan pendapat antar lembaga.
"Kalau ada perbedaan pendapat antar lembaga, nah ini porsi dari pak Jimly (Jimly Asshiddiqie-Ketua MK)," kata Anwar.
Dia menambahkan, langkah pelaporan Ketua MA ke Mabes Polri yang dilakukannya pada 13 September 2007 lalu itu menggunakan dasar UUD 45 pasal 23, UU 20/1997 tentang PNBP, UU 15/2006 tentang BPK dan UU 15/2004 tentang pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara terutama pasal 24 ayat 2.
"Dalam pasal 24 ayat 2 disebutkan bahwa setiap orang yang dengan sengaja mencegah, menghalangi atau menggagalkan pelaksanaan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 10, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 tahun 6 bulan dan/atau denda paling lama Rp500 juta," katanya.

Menurut dia, selama ini MA memberlakukan uang perkara berdasarkan peraturan mereka sendiri, dan menggunakannya tanpa izin Depkeu serta tanpa dilaporkan ke DPR sebagai pemegang hak budget.

0 comments:

Posting Komentar

Pengikut

Teman