Kasus Hak Merek Produk Nexian Palsu

Posted by Amhy Minggu, 29 Desember 2013 0 comments
PT. Metro Tech Jaya Komunikasi Indonesia merasa resah, karena mengalami kerugian. Kerugian yang dialami oleh PT. Metro Tech Jaya Komunikasi Indonesia berjumlah milyaran rupiah, penyebabnya adalah banyak para pemasok telopon genggam bermerek Nexian dan palsu begitu juga dengan baterainya yang palsu. Barang-barang tersebut beredar secara luas di daerah Makasar, Medan, Surabaya, dan juga Jakarta. Padahal PT. Metro Tech Jaya Komunikasi Indonesia adalah sebagai pemegang resmi merek Nexian untuk wilayah Indonesia. Tujuan para pelaku pemasok barang tersebut adalah karena harga penjualan telepon genggam palsu tersebut dimulai Rp 20.000 hingga Rp 45.000, yang relatif lebih murah jika dibandingkan dengan telepon genggam merek asli Nexian yang harganya mencapai Rp 50.000. barang-barang tersebut di produksi di Cina.

Pelaku                   :  Para pemasok dan penjual produk Nexian Palsu
Korban                  :  PT. Metro Tech Jaya Komunikasi Indonesia
Perbuatan               : Menjual dan memasok produk Nexian palsu tanpa seizin pemegang resmi nexian
Motif                      : Pelaku pemasok barang tersebut ingin mendapatkan keuntungan yang berlipat ganda

ANALISIS KASUS

Dalam Undang-undang Merek pada Pasal 1 dijelaskan :
1.      Merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa.
2.      Merek Dagang adalah Merek yang digunakan pada barang yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan barang-barang sejenis lainnya.
Undang-undangnomor 15 tahun 2001 pada bunyi pasal 76 ayat (1) Pemilik Merek terdaftar dapat mengajukan gugatan terhadap pihak lain yang secara tanpa hak menggunakan Merek yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya untuk barang atau jasa yang sejenis berupa :
a.       gugatan ganti rugi, dan/atau
b.      penghentian semua perbuatan yang berkaitan dengan penggunaan Merek tersebut
ayat (2) Gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada Pengadilan Niaga.
Gugatan sebagaimana disebutkan di atas diajukan kepada Pengadilan Niaga gugatan atas pelanggaran Merek dapat diajukan oleh penerima Lisensi Merek terdaftar, baik secara sendiri maupun bersama-sama dengan pemilik Merek yang bersangkutan.
UU nomor 15 tahun 2001 pasal 91 mengenai merek seperti berikut ini : 
Pasal 91
Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan Merek yang sama pada pokoknya dengan Merek terdaftar milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis yang diproduksi dan/atau diperdagangkan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).
Dan juga penggunaan lambang Apple pada perangkat buatan China tersebut telah melanggar UU nomor 15 pasal 92 dan 93 seperti berikut ini :
Pasal 92
1)      Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan tanda yang sama pada keseluruhan dengan indikasi-geografis milik pihak lain untuk barang yang sama atau sejenis dengan barang yang terdaftar, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
2)      Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan tanda yang pada pokoknya dengan indikasi-geografis milik pihak lain untuk barang yang sama atau sejenis dengan barang yang terdaftar, dipidanadengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).
3)      Terhadap pencatuman asal sebenarnya pada barang yang merupakan hasil pelanggaran ataupun pencantuman kata yang menunjukkan bahwa baranng tersebut merupakan tiruan dari barang yang terdaftar dan dilindungi berdasarkan indikasi-geografis, diberlakukan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).
  
Pasal 93
Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan tanda yang dilindungi berdasarkan indikasi-asal pada barang atau jasa sehingga dapat memperdaya atau menyesatkan masyarakat mengenai asal barang atau asal jasa tersebut, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).

            Kasus di dalam pembahasan ini yaitu kasus yang berkaitan dengan hak Merek yang sesuai dengan Undang-undang Merek pada Pasal 1. Pada contoh kasus diatas telah terjadi suatu pelanggaran  hak Merek yang sesuai dengan Pasal 90, pasal 91, pasal 92, dan pasal 93 Undang Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek.
            Para pelaku yang memasok telepon genggam bermerek nexian palsu itu tanpa seizin oleh pemegang resmi Merek Nexian untuk wilayah Indonesia yaitu PT. Metro Tech Jaya Komunikasi Indonesia. Mereka mengedarkan dan memasarkan secara luas barang-barang palsu tersebut, tindakan yang dilakukan mereka mengakibatkan banyak kerugian yang diperoleh PT. Metro Tech Jaya Komunikasi Indonesia.
            PT. Metro Tech Jaya Komunikasi Indonesia pihak yang merasa dirugikan dapat mengajukan tuntutan kepada pihak yang telah merugikanya, tuntutan yang bisa diajukan oleh pihak yang dirugikan yaitu :
a. gugatan ganti rugi, dan/atau
b. penghentian semua perbuatan yang berkaitan dengan penggunaan Merek tersebut
ayat (2) Gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada Pengadilan Niaga.
Para penjual telepon genggam bermerek nexian palsu itu dapat dijerat dengan  Pasal 90, pasal 91, pasal 92, dan pasal 93 Undang Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek dengan ancaman kurungan penjara lima tahun dan denda maksimal 1 miliar rupiah. Karena secara nyata para pemasok mengedarkan telpon genggam Merek Nexian secara ilegal mereka tanpa seizin oleh pemegang resmi produk nexian di Indonesia.

 KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan terhadap kasus yang telah dipaparkan dalam makalah ini, maka dapat disimpulkan beberapa hal yang terkait dengan kasus tersebut, yaitu:
1.         Perbuatan yang dilakukan para pemasok hand phone Nexian palsu tersebut suatu pelanggaran Hak Merek.
2.         Adapun bentuk perbuatan pelanggaran Hak Mereknya adalah penjualan nexian palsu, karena telah mengakibatkan kerugian terhadap PT. Metro Tech Jaya Komunikasi Indonesia.
3.         Kasus ini telah memenuhi Pasal 90, pasal 91, pasal 92, dan pasal 93 Undang Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek.


Read More..

Teori Pembuktian dalam Peradilan

Posted by Amhy 0 comments
A.    TEORI PEMBUKTIAN
Terdapat 3 (tiga) teori yang menjelaskan tentang sampai berapa jauhkah hukum positif dapat mengikat hakim atau para pihak dalam pembuktian peristiwa didalam sidang, yaitu:
1)      Teori Pembuktian Bebas
Teori ini tidak menghendaki adanya ketentuan-ketentuan yang mengikat hakim, sehingga penilaian pembuktian seberapa dapat diserahkan kepada hakim. Teori ini dikehendaki jumhur/pendapat umum karena akan memberikan kelonggaran wewenang kepada hakim dalam mencari kebenaran.
Teori ini menghendaki agar penilaian Hakim sedapat mungkin mendekati keadilan, sehingga hakim tidak terlalu terikat dengan alat bukti yang diajukan pihak yang berperkara. Misalnya hakim tidak terikat dengan keterangan saksi, walaupun di persidangan diajukan 100 saksi, dapat saja hakim menilai masih belum terbukti.
Dalam hal ini tidak mustahil adanya perbedaan penilaian hasil pembuktian antara sesama hakim, sehingga teori ini mengandung kelemahan, yaitu tidak menjamin adanya kepastian hukum dalam hal penilaian terhadap hasil pembuktian.
2)      Teori Pembuktian Terikat
Artinya hakim terikat dengan alat pembuktian yang diajukan oleh pihak berperkara, jadi harus memberikan putusan selaras dengan alat-alat bukti yang diajukan di persidangan.
Teori ini menghendaki agar penilaian hakim sedapat mungkin memberikan kepastian hukum, misalnya hakim terikat dengan alat bukti sumpah (utamanya sumpah pemutus), artinya apabila pihak sudah bersumpah, maka ia dimenangkan perkaranya, sedangkan bila ia menolak sumpah maka ia dikalahkan. Demikian pula alat bukti surat otentik hanya bisa digugurkan karena terdapat kepalsuan. Juga dalam menilai keterangan seorang saksi saja sebagai “Unus Testis Nullus Testis”.
Kelemahan teori ini adalah tidak menjamin adanya keadilan. Teori ini dibagi menjadi 2 macam:
-          Teori Pembuktian Negatif
Teori ini hanya menghendaki ketentuan-ketentuan yang mengatur larangan-larangan kepada hakim untuk melakukan sesuatu yang berhubungan dengan pembuktian. Jadi hakim disini dilarang dengan pengecualian (ps. 169 HIR, 306 Rbg, 1905 BW).
-          Teori Pembuktian Positif
Disamping adanya larangan, teori ini menghendaki adanya perintah kepada hakim. Disini hakim diwajibkan, tetapi dengan syarat (ps. 165 HIR, 285 Rbg, 1870 BW).
3)      Teori Pembuktian Gabungan
Artinya Hakim bebas dan terikat dalam menilai hasil pembuktian, misalnya Hakim bebas menilai suatu alat bukti permulaan, sehingga hakim masih perlu adanya sumpah tambahan. Bila sumpah tambahan dilakukan, maka hakim terikat menilainya, apabila tidak disertai sumpah tambahan maka hakim bebas menilai alat bukti permulaan itu.

B.     PERBANDINGAN ALAT BUKTI HUKUM ACARA PTUN DAN HUKUM ACARA PERDATA
1.         Alat Bukti PTUN Menurut Pasal 100 Undang-Undang No. 5 tahun 1986 :
a.       Surat atau tulisan
Surat sebagai alat bukti ada 3: 
a.       Akta aotentik, yaitu surat yang dibuat oleh atau dihadapan seorang pejabat umum yang menurut perturan perundang-undangan yang berwenang membuat surat ini dengan maksud untuk dipergunakan alat bukti tentang peristiwa hukum yang tercantum didalamnya.
b.      Akta dibawah tangan yaitu surat yang di buat dan di tandatangani oleh pihak-pihak yang bersangkutan dengan maksud untuk digunakan sebagi alat bukti.
b.      Keterangan Ahli
Pendapat orang yang diberikan sumpah dalam persidangan dalam tentang hal yang ia ketahui menurut pengetahuan dan pengalamnanya. Pasal 88 UU PTUN menjelaskan tidsak boleh mendengarkan keterangan ahli. Atas permintaan kedua belah pihak atau salah satu pihak atau karena jabatannya hakim ketua sidang dapat menunjuk seorang atau beberapa ahli. 

c.       Keterangan Saksi
Dalam pasal 88 UU PTUN disebutkan yang tidak boleh didengar sebagai saksi adalah:
a. Keluarga sedarah
b. Istri atau suami salah seorang pihak meski sudah bercerai
c. Anak yang belum berusia tujuh belas tahun
d. Orang sakit ingatan
Dalam pasal 89 UU PTUN yang berhak mengundurkan diri sebagai ahli adalah: 
a. Saudara laki-laki atau perempuan, ipar laki-laki dan perempuan salah satu pihak 
b. Setiap orang yang karena martabat pekerjaan atau jabatannya diwajibkan merahasiakan segala sesuatu yang berhubungan dengan martabat, pekerjaan atau jabatanhnya itu.
d.      Pengakuan para pihak
Pengakuan dari para pihak tidak dapat ditarik kembali kecuali dengan alasan yang kuatdan dapat diterima oleh hakim. Pengakuan adalah meruapakan pernyataan sepihak sehingga tidak memerlukan persetujuan dari para pihak lain terutama dari pihak lawannya. Pengakuan secara lisan harus dilakukan dalam persidangan dan tidak boleh diluar persidangan. Pengakuan secara tertulis boleh dilakukan diluar persidangan dan dihadapan hakim. 
e.       Pengetahuan hakim
Menurut Wirjono Prodjodikoro yang dimaksud pengetahuan hakim dalah hal yang dialami oleh hakim sendiri selam pemeriksaan perkara dalam sidang. Missal kalau salah satu pihak memajukan sebagai bukti suatu gambar atau suatu tongkat, atau hakim melihat keadaan suatu rumah yang menjadi soal perselisihan d itempat.
2.      Alat Bukti Hukum Acara Perdata Menurut Pasal 1866 KUHPerdata :
a.       Surat
b.      Saksi
c.       Persangkaan
d.      Pengakuan
e.       Sumpah
Sistem Pembuktian dalam Hukum Acara PERDATA
Dalam hukum acara perdata dianut system pembuktian positif, artinya :
-          system pembuktian yang menyandarkan diri pada alat bukti saja, yang ditentukan oleh Undang-undang;
-          suatu gugat dikabulkan hanya didasarkan pada alat-alat bukti yang sah, keyakinan hakim diabaikan.
-          pada pokoknya suatu gugatan yang sudah memenuhi cara-cara pembuktian dan alat bukti yang sah, gugatan harus dikabulkan;

-          hakim laksana robot yang menjalankan UU, namun ada baiknya system pembuktian ini, yakni hakim akan berusaha membuktikan dalil-dalil gugatan atau jawaban tanpa dipengaruhi oleh nuraninya, sehingga benar-benar objektif, yaitu menurut Undang-undang;
Read More..

Sistem Pemilu yang Cocok Untuk Indonesia (DISTRIK atau PROPORSIONAL)

Posted by Amhy 0 comments
Pendahuluan
Konsep Negara demokrasi sudah banyak diterapkan hampir diseluruh Negara di muka bumi, baik pada Negara kerajaan atau republik. Paham demokratis ini banyak diikuti karena demokrasi sendiri didasari oleh nilai-nilai yang positif dan mengandung unsur-unsur moral universal[1].
Sistem demokrasi yang menjamin akan hak-hak sipil dan hak politik rakyat dalam suatu Negara seperti yang dianut oleh Indonesia yang secara eksplisit disebutkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD 1945)[2]. Oleh karena itu, Negara yang menyatakan dirinya sebagai negara demokrasi dalam konstitusinya, pasti melaksanakan kegiatan pemilu untuk memilih pemimpin negara atau pejabat publik yang baru. Pemilihan umum merupakan bagian dari pelaksanaan prinsip demokrasi.
Pemilihan umum dalam Negara demokrasi Barat dewasa ini menjadi model ideal bagi Negara demokrasi pada Negara-negara yang sementara berkembang yang mengimpor konsep Negara modern demokrasi[3]. Pada Negara demokrasi sementara berkembang yang mengimpor konsep demokrasi barat itu, pemilu setidak-tidaknya merupakan peristiwa menegangkan bahkan kadangkala merupakan peristiwa berdarah, sehingga sering dihindari dengan cara menunda pemilu. Hal ini juga sangat berpengaruh terhadap sistem pemilu yang digunakan dalam suatu Negara.
Ada dua sistem pemilihan umum yang sering digunakan oleh beberapa Negara, yaitu sistem pemilu Distrik dan Proporsional. Dengan keberadaan sistem pemilu tersebut, Indonesia yang menganut sistem demokrasi dan melaksanakan pemilihan umum tentunya menggunakan salah satu dari sistem tersebut, atau bahkan kedua-duanya. Ketidakjelasan sistem pemilu yang digunakan tersebut membuat Indonesia sering mengalami masalah dalam pemilihan umum.
Untuk itu berangkat dari permasalahan tersebut maka kita perlu mengkualifikasikan sistem yang cocok dan baik dan sesuai dengan kultur politik yang ada di Indonesia. Oleh karena itu melalui penulisan makalah ini akan menjelaskan tentang sistem pemilu distrik dan sistem pemilu proporsional serta sistem pemilu yang cocok untuk Indonesia. 

[1] Dr.Taufiqurrahman syahuri,S.H.,M.H, Tafsir Konstitusi berbagai Aspek Hukum, 2011, hlm.157.
[2] Pasal 1 ayat (2), Pasal 33 ayat (4), Pasal 18 ayat (4) UUD 1945
[3] Willy D.S Voll, S.H, Negara Hukum dalam Keadaan Pengecualian, 2013, hlm.57.


A.     SISTEM PEMILU DI INDONESIA
Pemilihan umum, selanjutnya disebut Pemilu, adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia Berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945[1]. Pemilihan Umum sebagai pelaksanaan prinsip demokrasi yang berlaku di Indonesia sudah diterapkan beberapa kali mulai sejak kemerdekaan hingga tahun 2009. Dalam sejarah perjalanan pelaksanaan pemilihan umum di Indonesia telah mengalami banyak persoalan dan beberapa pelanggaran, yaitu pelanggaran pidana pemilu, pelanggaran administrasi pemilu, dan pelanggaran penghitungan suara[2]. Pelanggaran penghitungan ini akan dinilai dan diluruskan oleh Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga Negara yang kewenangannya diatur dalam UUD 1945, yaitu salah satunya menyelesaikan sengeketa hasil pemilihan umum. Penilaian MK terhadap hasil rekapitulasi KPU merupakan penilaian konstitusional yang akan menilai dari sisi prosedur formal dan kebenaran materinya.
Dengan berbagai polemik yang terjadi mengenai pemilihan umum yang terjadi di Indonesia tidak terlepas dari sistem pemilihan umum yang digunakan, pemilihan umum tahun 1955 dan 2004 mempunyai kekhususan atau keistimewaan dibanding dengan pemilu ditahun lain yang telah dilakukan. Semua pemilihan umum tersebut tidak diselenggarakan dalam situasi yang vacuum, melainkan berlangsung di dalam lingkungan yang turut menentukan hasil pemilihan umum itu sendiri. Dari pemilihan umum-pemilihan umum tersebut juga dapat diketahui adanya upaya untuk mencari sistem pemilihan umum yang cocok untuk Indonesia[3]. Untuk menentukan mana yang cocok maka kita perlu mengetahui sejarah pelaksanaan pemilihan umum di Indonesia dari masa ke masa seperti berikut ini :
a.      Zaman Demokrasi Parlementer (1945-1959)
Awal pelaksanaan pemilihan umum di Indonesia direncanakan mulai awal bulan oktober 1945, tetapi baru dilaksanakan oleh kabinet Burhanuddin Harahap pada tahun 1955. Saat itu pemungutan suara dilakukan dua kali, yaitu satu kali untuk memilih anggota DPR pada bulan September, dan satu kali untuk memilih anggota konstituante pada bulan Desember.
Sistem yang digunakan ialah sistem proporsional. Pada waktu itu sistem itu, sebagaimana yang dicontohkan oleh Belanda, Merupakan satu-satunya sistem pemilihan umum yang dikenal dan dimengerti oleh para pemimpin Negara.
Pemilihan umum diselengarakan dalam suasana khidmat, karena merupakan pemilihan umum pertama dalam suasana kemerdekaan. Pemilihan umum berlangsung sangat demokratis, tidak ada partai-partai, dan tidak ada usaha-usaha pemerintah untuk mengintervensi terhadap partai-partai sekalipun kampanye berjalan seru, terutama antara Masyumi dan PNI.
Namun stabilitas politik yang sangat diharapkan dari pemilihan umum tidak terwujud. Kabinet Ali (I dan II) yang memerintah selama dua tahun dan yang terdiri atas koalisi tiga besar: Masyumi, PNI, dan NU, ternyata tidak kompak dalam mengahadapi beberapa persoalan, terutama yang terkait dengan konsepsi presiden yang diumumkan pada tanggal 21 Februari 1957. Karena beberapa partai koalisi tidak menyetujuinya, akhirnya beberapa manteri, antara lain dari masyumi, keluar dari cabinet. Dengan pembubaran Konstituante oleh Presiden Soekarno zaman Demokrasi Parlementer berakhir dan kemudian mulai zaman Demokrasi Terpimpin.[4]

b.      Zaman Demokrasi Terpimpin (1959-1965)
Sesudah mencabut Maklumat Pemerintah November 1945 tentang kebebasan untuk mendirikan partai, Presiden Soekarno mengurangi jumlah partai menjadi 10. Kesepuluh partai ini : PNI, Masyumi, NU, PKI, Partai Katolik, Partindo, Partai Murba, PSII Arudji, IPKI, dan Partai Islam Perti, yang kemudian ikut dalam pemilihan umum 1971 di masa orde baru. Zaman demokrasi terpimpin tidak diadakan pemilihan umum[5].
c.       Zaman Demokrasi Pancasila (1965-1998)
Sesudah runtuhnya rezim Demokrasi Terpimpin yang semi-otoriter ada harapan besar dikalangan masyarakat untuk mendirikan suatu sistem politik yang demokratis dan stabil. Berbagai forum diskusi diadakan, salah satu inti pembahasannya adalah langkah praktis untuk mengurangi jumlah partai politik, karena dianggap mengakibatkan rapuhnya sistem politik.
Salah satu caraya adalah melalui sistem pemilihan umum, saat itu diperbincangkan bukan hanya sistem proporsional yang sudah lama dikenal, tetapi juga sistem distrik, yang di Indonesia masih sama sekali baru. Seminar berpendapat bahwa sistem distrik dapat mengurangi partai politik secara alamiah, namun dikhawatirkan merugikan eksistensi partai-partai politik, dan juga karena ada usul untuk memberikan jatah kursi di DPR kepada ABRI. Sehingga sistem distrik ditolak, maka semua pemilihan umum berikutnya dilaksanakan dengan memakai sistem proporsional.
d.      Zaman Reformasi
Reformasi membawa beberapa perubahan fundamental. Pertama, dibuka kesempatan kembali untuk bergeraknya partai politik secara bebas, termasuk mendirikan partai baru. Ketentuan ini kemudian tercermin dalam pemilihan umum 1999 yang diselenggarakan dengan disertai banyak partai. Kedua, pada pemilihan umum 2004 untuk pertama kali dalam sejarah Indonesia diadakan pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung. Ketiga, diadakan pemilihan untuk suatu badan baru, yaitu Dewan Perwakilan Daerah yang akan mewakili daerah secara  khusus.
Untuk pemilihan anggota DPR dan DPRD digunakan sistem proporsional dengan stelsel daftar terbuka, sehingga pemilih dapat memberikan suaranya secara langsung kepada calon yang dipilih. Ada warna sistem distrik dalam penghitungan perolehan kursi DPR dan DPRD pada pemilihan umum 2004[6].
Dalam perjalanan sejarah pemilihan umum di Indonesia juga tidak konsisten dalam menggunakan sistem pemilihan umum yang dipakai, sistem distrik atau proporsional.
B.      SISTEM PEMILU DISTRIK DAN PROPORSIONAL
Dalam ilmu politik dikenal bermacam-macam sistem pemilihan umum dengan berbagai variasinya, akan tetapi umumnya berkisar pada dua prinsip pokok, yaitu[7] :
a.      Single-member Constituency (satu daerah pemilihan memilih satu wakil; biasanya disebut Sistem Distrik).
b.      Multi-member Constituency (satu daerah pemilihan memilih beberapa wakil; biasanya dinamakan Sistem Perwakilan Berimbang atau Sistem Proporsional).
Dalam sistem distrik, satu wilayah kecil (yaitu distrik pemilihan) memilih satu wakil tunggal (single-member constituanty) atas dasar pluralitas (suara terbanyak).
Dalam sistem proporsional, satu wilayah besar (yaitu daerah pemilihan) memilih beberapa wakil (multi-member constituency). Perbedaan pokok antara dua sistem ini ialah bahwa cara menghitung perolehan suara dapat menghasilkan perbedaan dalam komposisi perwakilan dalam parlemen bagi masing-masing partai politik.
Dinamakan sistem distrik karena wilayah Negara dibagi dalam distrik-distrik pemilihan (daerah-daerah pemilihan) yang jumlahnya sama dengan jumlah anggota lembaga perwakilan rakyat yang dikehendaki[8].
Sistem distrik merupakan sistem pemilihan yang paling tua dan didasarkan atas kesatuan geografis. Setiap kesatuan geografis (yang biasanya disebut “distrik” karena kecilnya daerah yang terkacup) memperoleh satu kursi dalam parlemen. Yang memakai sistem distrik misalnya Amerika, Inggris, dan India.
Sistem perwakilan proporsional ialah sistem dimana presentase kursi di lembaga perwakilan rakyat yang dibagikan kepada tiap-tiap partai politik, disesuaikan dengan presentase jumlah suara yang diperoleh tiap-tiap partai politik[9].
a.      Keuntungan Sistem Distrik
-          Sistem ini lebih mendorong kea rah integrasi partai-partai politik karena kursi yang diperebutkan dalam setiap distrik pemilihan hanya satu.
-          Fragmentasi partai dan kecenderungan membentuk partai baru dapat dibendung, malahan sistem ini bisa mendorong ke arah penyerdehanaan partai secara alami dan tanpa paksaan.
-          Karena kecilnya distrik, maka wakil yang terpilih dapat dikenal oleh komunitasnya, sehingga hubungan dengan konstituen lebih erat.
-          Bagi partai besar sistem ini menguntungkan karena melalui distortion effect dapat meraih suara dari pemilih-pemilih  lain.
-          Lebih mudah bagi suatu partai untuk mencapai kedudukan mayoritas dalam parlemen, sehingga tidak perlu diadakan koalisi dengan partai lain.
-          Sistem ini sederhana dan murah untuk diselenggarakan.
b.      Kelemahan Sistem Distrik
-          Sistem ini kurang memperhatikan kepentingan-kepentingan  partai kecil dan golongan-golongan ini terpencar dalam berbagai distrik.
-          Sistem ini kurang representative dalam arti bahwa partai yang calonnya kalah dalam suatu distrik kehilangan suara yang telah mendukungnya.
-          Sistem distrik dianggap kurang efektif dalam masyarakat yang plural karena terbagi dalam kelompok etnis, religious, dan tribal, sehinga menimbulkan anggapan bahwa suatu kebudayaan nasional yang terpadu secara idiologis dan etnis merupakan prasyarat bagi suksesnya sistem ini.
-          Ada kemungkinan si wakil cenderung untuk lebih memperhatikan kepentingan distrik serta warta distriknya, daripada kepentingan nasional.
c.       Keuntungan Sistem Proporsional
-          Sistem proporsional dianggap representative, karena jumlah kursi partai dalam parlemen sesuai dengan jumlah suara masyarakat yang diperoleh dalam pemilu.
-          Sistem proporsional dianggap lebih demokratis dalam arti lebih elagitarian karena praktis tanpa ada distorsi, yaitu kesenjangan antara suara nasional dan jumlah kursi dalam parlemen, tanpa suara yang hilang atau wasted.

d.      Kelemahan Sistem Proporsional
-          Sistem ini kurang mendorong partai-partai untuk berintegrasi atau kerja sama satu sama lain dan memanfaatkan persamaan-persamaan yang ada, tetapi sebaliknya.
-          Sistem ini mempermudah fragmentasi partai. Jika timbul konflik dalam suatu partai, anggotanya cenderung memisahkan diri dan mendirikan partai baru.
-          Sistem proporsional memberikan kedudukan yang kuat pada pimpinan partai melalui sistem daftar karena pimpinan partai menentukan daftar calon.
-          Wakil yang terpilih kemungkinan renggang ikatannya dengan konstituennya.
-          Karena banyaknya partai yang bersaing, sulit bagi suatu partai untuk meraih mayoritas (50% + satu) dalam parlemen, yang diperlukan untuk membentuk pemerintahan[10].
Dari penjelasan mengenai keuntungan dan kelemahan sistem pemilihan umum diatas serta perjalanan pemilihan umum Indonesia sejak pertama kali hingga saat ini sedikit dapat menggambarkan akan sistem yang cocok dan baik untuk Indonesia yang sesuai dengan konteks kultur politiknya dan kemajemukan masyarakatnya.



[1] Gradien Mediatama, Undang-Undang Pemilu & Partai Politik 2008.hlm.11.
[2] Dr.Taufiqurrahman syahuri,S.H.,M.H, Tafsir Konstitusi berbagai Aspek Hukum, 2011, hlm.156
[3] Prof. Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta, 2008, hlm.473.
[4] Prof. Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta, 2008, hlm.473-474.
[5] Prof. Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta, 2008, hlm.474
[6] Prof. Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta, 2008, hlm.487-488.
[7] Prof. Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta, 2008, hlm.461.
[8] Romi Librayanto, S.H.,M.H Ilmu Negara (Suatu Pengantar).2009.hlm.204.
[9] Romi Librayanto, S.H.,M.H Ilmu Negara (Suatu Pengantar).2009.hlm.204-205.
[10] Prof. Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta, 2008, hlm.469.
Read More..

Pengikut

Teman