Tahun Politik 2014 diawali dengan Kebijakan Kenaikan Harga Gas Elpiji 12 kg.
Minggu, 05 Januari 2014
0
comments
Oleh Amiruddin
Sejak reformasi bergulir di Indonesia sebagai suatu langkah dalam pembaruan sistem pemerintahan dan ketatanegaraan Indonesia sehingga tidak ada alasan ketika masyarakat menaruh harapan besar akan kesejahteraan dan keadilan. Namun tak dapat dipungkiri juga langkah-langkah progresif dalam meramu kebijakan sedemikian rupa demi kepentingan rakyat hanya bisa dirasakan oleh masyarakat untuk golongan-golongan tertentu. Harapan supremasi keadilan dan kesejahteraan rakyat sejak reformasi kini hanya menjadi harapan palsu dan hampa dibalik tirani penguasa.
Permasalahan demi permasalahan kontroversial dan isu-isu politis bermunculan yang seolah-olah menjadi hal yang sangat lumrah bagi para penguasa yang telah mencabik-cabik hati rakyat sebagai bagian dari pemegang kedaulatan tertinggi dalam suatu negara yang berdaulat seperti Indonesia.
Ketika polemik kenaikan harga BBM (Bahan Bakar Minyak) yang telah menjadi trending topic tahun 2012 lalu, setidaknya memberikan gambaran bahwa pemerintah dalam mengeluarkan kebijakan tidak lagi pro rakyat melainkan demi kepentingan-kepentingan tertentu yang bersifat politis. Belum lagi kenaikan Tarif Dasar Listrik (TDL) tahun 2013 lalu menjadi salah satu pemicu terjadinya inflasi yang cukup besar bagi Indonesia. Bahkan konspirasi politik telah mencengkram bangsa ini dalam setiap kebijakan yang dikeluarkan.
Tahun 2014 belum cukup seminggu dalam perayaan tahun baru, telah dinodai dengan kebijakan kenaikan harga elpiji 12 kg. Kenaikan harga elpiji yang diumumkan sejak tanggal 1 januari 2013 oleh pihak PT. Pertamina (persero) menuai protes dari berbagai kalangan. "Hampir semua rumah tangga di Indonesia menggunakan elpiji, tetapi itu tidak dimasukkan sebagai energi strategis seperti halnya BBM, jadi sebaiknya presiden juga melakukan koreksi terhadap peraturan pemerintah , jangan dilihat dari sisi harganya saja, tetapi tidak dilihat dari mekanisme penetapan harga, elpiji itu kebutuhan dasar sehingga tak bisa dilepas pada mekanisme pasar," kata Hendri dalam wawancara dengan BBC Indonesia. Dan juga senada yang disampaikan oleh ketua presidium Federasi Serikat Pekerja BUMN Bersatu (FSPBB) Arief Poyuono "Tentu saja kenaikan harga elpiji 12kg dan ketidakefisienan Pertamina dalam memproduksi elpiji 12 kg bisa jadi merupakan ulah mafia gas di dalam Pertamina sendiri,".
Kenaikan harga elpiji 12 kg juga sebagai bentuk tidak adanya kordinasi antara pemerintah dan PT.Pertamina (persero) dalam mengeluarkan kebijakan. PT. Pertamina (persero) sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dalam artian pemerintah sebagai salah satu pemegang saham seharusnya dapat memberi andil untuk memberikan keputusan dalam kebijakan kenaikan harga elpiji 12 kg ini. Berdasarkan pasal 38 Undang-Undang Nomor 19 tahun 2003 tentang BUMN bahwa Menteri BUMN memberikan persetujuan atas kebijakan pengemban usaha perum yang disuslkan oleh direksi. Dalam hal ini menteri sebagai lembaga eksekutif dalam pemerintahan seharusnya melakukan kordinasi terkait permasalahan tersebut.
Dahlan Iskan sebagai menteri BUMN menjadi sorotan terkait dengan persoalan kebijakan menaikkan harga elpiji 12 kg. Dahlan dianggap seharusnya tahu dan bisa tidak memberi persetujuan atas kenaikan itu. Keputusan PT Pertamina (persero) itu dilakukan melalui Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Dalam rapat tersebut pasti dihadiri oleh para pemegang saham termasuk pemerintah yang diwakilkan oleh Menteri BUMN. Namun Dahlan Iskan mengaku siap bertanggung jawab atas kesimpangsiuran kenaikan harga gas Elpiji non subsidi kemasan 12 Kilogram (Kg). "Kalau kenaikan, Pokoknya semua saya yang salah," tegas Dahlan usai menghadiri rapat terbatas, di Lapangan Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta, Minggu (5/1/2013).
Diluar permasalahan tersebut kebijakan kenaikan harga gas elpiji 12 kg diawal tahun 2014 yang menurut beberapa kalangan sebagai tahun politik menjadi lahan pendongkrak popularitas dan elektabilitas para politisi. Beberapa politisi berlomba-lomba memberikan tanggapan terkait permasalahan tersebut. Munculnya beragam komentar dari politisi-politisi yang berasal partai pendukung pemerintah, mengecam dan menolak kebijakan Pertamina menaikan harga elpiji 12 kg menandakan seolah-olah ada rekayasa dan hanya menjadi isu yang mengindikasikan upaya untuk meningkatkan elektabilitas partai para politisi. Permasalahan ini bisa saja menjadi konspirasi politik dibalik persoalan partai-partai yang saat ini sedang gencar-gencarnya melakukan sosialisasi dan peningkatan popularitas partai dalam menyambut pemilihan legislatif 9 April 2014 mendatang.
Olehnya itu menurut hemat penulis seharusnya permasalahan seperti ini tidak layak terjadi dan menjadi isu yang seolah-olah sengaja dibesar-besarkan untuk kepentingan-kepentingan tertentu dalam rangka menyambut tahun 2014. Langkah yang dilakukan oleh presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk mengkaji ulang kebijakan tersebut juga bisa terindikasi sebagai suatu langkah penyelamatan untuk mendongkrak kembali popularitas SBY yang selama ini telah menjadi sorotan negatif diberbagai persoalan terkait kebijakan yang dikeluarkan oleh SBY.
Olehnya itu menurut hemat penulis seharusnya permasalahan seperti ini tidak layak terjadi dan menjadi isu yang seolah-olah sengaja dibesar-besarkan untuk kepentingan-kepentingan tertentu dalam rangka menyambut tahun 2014. Langkah yang dilakukan oleh presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk mengkaji ulang kebijakan tersebut juga bisa terindikasi sebagai suatu langkah penyelamatan untuk mendongkrak kembali popularitas SBY yang selama ini telah menjadi sorotan negatif diberbagai persoalan terkait kebijakan yang dikeluarkan oleh SBY.
0 comments:
Posting Komentar