Perumusan Kompilasi Hukum Islam
secara substansial dilakukan dengan mengacu kepada sumber hukum Islam, yakni
al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah, dan secara hirarki mengacu kepada peraturan
perundang-undangan yang berlaku di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Di samping itu, para perumus KHI memperhatikan perkembangan yang berlaku secara
global serta memperhatikan tatanan hukum Barat tertulis (terutama hukum Eropa
Kontinental) dan tatanan hukum adat, yang memiliki titik temu dengan tatanan
hukum Islam. Berkenaan dengan hal itu, dalam beberapa hal, maka terjadi
adaptasi dan modifikasi tatanan hukum lainnya itu ke dalam KHI. Dengan
demikian, KHI merupakan suatu perwujudan hukum Islam yang khas di Indonesia.
Atau dengan perkataan lain, KHI merupakan wujud hukum Islam yang bercorak
keindonesiaan.
A.
Pengertian
Kompilasi Hukum Islam
Kompilasi Hukum
Islam (KHI) adalah sekumpulan materi hukum Islam yang ditulis pasal demi pasal,
berjumlah 229 pasal, terdiri atas tiga kelompok materi hukum, yaitu Hukum
Perkawinan (170 pasal), Hukum Kewarisan termasuk wasiat dan hibah (44 pasal)
dan Hukum Perwakafan (14 pasal), ditambah satu pasal ketentuan penutup yang berlaku
untuk ketiga kelompok hukum tersebut. KHI disusun melalui jalan yang sangat
panjang dan melelahkan karena pengaruh perubahan sosial politik terjadi di
negeri ini dari masa ke masa.
B.
Latar
Belakang Kompilasi Hukum Islam
Ide kompilasi hukum muncul sesudah beberapa tahun Mahkamah
Agung membina bidang tekhnis yustisial Peradilan Agama. Tugas pembinaan
dimaksud, didasari oleh Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman. Pasal 11 ayat (1) undang-undang tersebut menyatakan bahwa
organisasi, administrasi, dan keuangan pengadilan dilakukan oleh departemen
masing-masing, sedangkan pembinaan teknis yustisial dilakukan oleh mahkamah
Agung. Meskipun undang-undang tersebut ditetapkan tahun 1970, tetapi pelaksanaannya
di lingkungan peradilan agama pada tahun 1983, yaitu sesudah pendatangan Suras
Keputusan Bersama (SKB) Ketua Mahkamah Agung dengan menteri Agama RI No. 01,
02, 03, dan 04/SK/1-1983 dan No.1,2,3, dan 4 tahun 1983.
Keempat SKB dimaksud, adalah jalan pintas sambil menunggu
keluarnya Undang-Undang tentang Susunan, Kekuasaan dan Acara pada Peradilan
Agama yang menjadi peraturan pelaksanaan Undang-Undang No. 14 tahun 1970 bagi
lingkungan Peradilan Agama yang pada saat itu masih sedang dalam proses penyusunan
yang intensif (sekarang Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004). Sehinga sesuai dengan fungsi Mahkamah Agung RI
terhadap jalannya peradilan di semua lingkungan peradilan agama perlu
mengadakan Kompilasi Hukum Islam yang selama ini menjadikan hukum positif di
Pengadilan Agama.
C.
Kelahiran Kompilasi Hukum Islam
Pada akhir dekade 1980-an terdapat
dua peristiwa penting berkenaan dengan perkembangan hukum dan peradilan Islam
di Indonesia. Pertama, pada tanggal 25 Pebruari 1988, ulama Indonesia telah
menerima tiga rancangan buku Kompilasi Hukum Islam. Rancangan kompilasi itu,
pada tanggal 10 Juni 1991, mendapat legalisasi pemerintah dalam bentuk
Instruksi Presiden kepada Menteri Agama untuk digunakan oleh instansi
pemerintah dan oleh masyarakat yang memerlukannya. Instruksi itu dilaksanakan
dengan Keputusan
Menteri Agama Nomor 154 tanggal 22
Juli 1991. Kedua, pada tanggal 29 Desember 1989 disahkan dan diundangkan
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Kedua peristiwa itu merupakan suatu rangkaian
yang saling berhubungan dan saling melengkapi. Kompilasi Hukum Islam disusun
dan dirumuskan untuk mengisi kekosongan hukum substansial, yang diberlakukan
pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama. Sedangkan dalam Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1989, antara lain diatur tentang kekuasaan pengadilan dalam
lingkungan Peradilan Agama. Dengan demikian, secara yuridis hukum Islam di
bidang perkawinan, kewarisan dan perwakafan menjadi hukum positif tertulis
dalam sistem hukum nasional (tata hukum Indonesia).
D.
Landasan
Yuridis
Landasan yuridis mengenai perlunya hakim memperhatikan
kesadaran hukum masyarakat adalah Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 Pasal 28 ayat
1 yang berbunyi: ” Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai
hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”. Selain itu, Fikih Islam
mengungkapkan kaidah:” Hukum Islam dapat berubah karena perubahan waktu,
tempat, dan keadaan”. Keadaan masyarakat itu selalu berkembang karena
menggunakan metode yang sangat memperhatikan rasa keadilan masyarakat. Diantara
metode itu ialah maslahat mursalah, istihsan, istishab, dan urf.
E.
Landasan Fungsional
Kompilasi Hukum Islam adalah fikih Indonesia karena ia
disusun dengan memperhatikan kondisi kebutuhan hukum umat Islam Indonesia.
Fikih Indonesia dimaksud adalah fikih yang telah dicetuskan oleh Hazairin dan
T.M. Hasbi Ash-Shiddiqi. Fikih sebelumnya mempunyai tipe fikih lokal semacam
fikih Hijazy, fikih Mishry, fikih Hindy, fikih lain-lain yang sangat
mempehatikan kebutuhan dan kesadaran hukum masyarakat setempat. Ia mengarah
kepada unifikasi mazhab dalam hukum islam. Oleh karena itu, di dalam sistem
hukum di Indonesia ini merupakan bentuk terdekat dengan kodifikasi hukum yang
menjadi arah pembangunan hukum nasional di Indonesia.
F.
Institusi
(organisasi) Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Hukum berfungsi sebagai alat untuk mengubah masyarakat yang
disebut oleh Roscoe Pound ”a Tool of social enginering” Dalam konteks dinamika Kompilasi Hukum Islam
diperlukan Institusi (organissi) untuk menjalankan dan melakukan
pengawasan dalam penerapannya di masyarakat.
a. Peradilan
dan Hakim-Hakim Agama
Kekuasaan kehakiman dalam UUD 1945
hanya terdiri dua pasal, yaitu pasal 24 dan pasal 25. kemudian Undang-undang
organik selanjutnya yang menjabarkan pasal 24 dan pasal 25 UUD 1945 tersebut
adalah UU No. 14/1970 yang menentukan adanya empat lingkungan peradilan, yaitu:
umum, agama, militer, dan tata usaha negara. Peranan
dari para Hakim Agama yang mekanisme kerjanya sudah mempunyai landasan yang
kokoh dengan ditetapkannya Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang peradilan
Agama, maka dalam menghadapi kompilasi hukum islam sebagai ketentuan hukum
material yang harus dijalankan tidak hanya berfungsi sebagai ’mulut dari
kompilasi’ akan tetapi dituntut untuk lebih meningkatkan perannya dalam
berijtihad menemukanhukum melalui perkara-perkara yang ditanganimya.
Sehingga peradilan Agama secara
legalistik berdasarkan pasal 10 UU No 14 Tahun 1970, telah diakui secara resmi
sebagai salah satu pelaksana Judicial Power dalam negara hukum Republik
Indonesia.
b. Majelis
Ulama Indonesia (MUI)
Majelis Ulama indonesia (MUI) lebih
meningkatkan peranannya untuk mengkaji beberapa aspek kemasyarakatan yang
berdimensi hukum yang memang sangat diperlukan oleh masyarakat dalam rangka
penetapan hukum dalam masyarakat indonesia yang sedang membangun. Visi MUI
adalah terciptanya kondisi kehidupan kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan
yang baik, memperoleh ridlo dan ampunan Allah swt (baldatun thoyyibatun wa
robbun ghofur) menuju masyarakat berkualitas (khaira ummah) demi
terwujudnya kejayaan Islam dan kaum muslimin (izzul Islam wal-muslimin)
dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai manifestasi dari rahmat
bagi seluruh alam (rahmatan lil ’alamin.
Peran ulama dalam dinamika bangsa
Indonesia sangat besar, dan pengaruhnya luas sekali, baik dalam kehidupan
sosial maupun politik, dan sudah berlangsung sejak masa-masa awal islam di
indonesia. Kedudukan ulama yang diharapkan
menjadi penghubung antara kebijakan pemerintah dan aspirasi masyarakat memang
serba sulit. Buya Hamka menggambarkannya seperti kue bika yang sedang dimasak
di periuk belanga yang terdiri atas dan bawah dijepit api. Pemerintah (dari
atas) menginginkan ulama membuat masyarakat mengerti dan turut atas kebijakan
pemerintah, sedangkan masyarakat (dari bawah) mendesak ulama untuk menyampaikan
aspirasinya kepada pemerintah.
c.
Lembaga – Lembaga Hukum dan Fatwa dari Organisasi
Islam
Peranan dari lambaga-lembaga hukum
dan fatwa yang kita temui pada berbagai organisasi islam yang ada di Indonesia
seperti Muhamadiyah, Nahdatul Ulama dan laim-lain perlu lebih ditingkatkan
dalam rangka mendukung dalam penetapan hukum islam. Namun juga perlu dijaga
jangan sampai terjadi lahirnya berbagai fatwa hukum yang bersifat sangat
kontraversial dan dapat membingungkan umat.
G.
Penegakan
Hukum Islam (rule of law) dalam bingkai Keindonesiaan
Satu segi dari proses penegakan
hukum yang baik adalah segi pelaksanaan hukum atau penegakan hukum yang biasa
juga diidtilahkan dengan Law Enforcement. Sebaik-baik materi peraturan,
hukum tidak akan bermanfaat kalau segi penegakannya tidak sesuai dengan
kaidah-kaidah penegakan hukum yang benar.
Kompilasi Hukum Islam sebagi bagian
dari keseluruhan tata hukum Islam, sudah dapat ditegakkan dan dipaksakan nilai-nilainya
bagi masyarakat Islam Indonesia melalui kewenangan lingkungan Peradilan Agama.
Semua hakim yang berfungsi di lingkungan peradilan agama dan ruejukan hukum
mesti mereka pedoman sama di seluruh Indonesia yakni Kompilasi Hukum Islam
sebagai satu-satunya kitab hukum yang memiliki keabsahan dan otoritas.
Penegakan Hukum Islam dideskripsikan
dengan realisasi Kompilasi Hukum Islam. Pembentukan Kompilasi hukum Islam
merupakan penjabaran dari pasal 49 Undang-Undang N0. 7 Tahun 1989 tentang
peradilan Agama. Pasal 49 dimaksud, memerlukan kodifikasi dan unifikasi hukum
yang memadai, untuk mewujudkan kesadaran masyarakat mengenai pelaksanaan hukum
islam di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, shadaqah, dan wakaf. Oleh
karena itu, penyusunan Kompilasi Hukum Islam secara resmi melalui
Yurisprudensi, dalam Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI dan Menteri
Agama RI No. 07/KMA/1985 dan No.25 Tahun 1985 tanggal 25 Maret 1985.
Kompilasi Hukum Islam disusun dan
dirumuskan dalam kitab hukum sebagai tata hukum Islam yang berbentuk positif
dan unifikatif. Semua lapisan masyarakat Islam dipaksa tunduk mentaatinya.
Pelaksanaan dan penerapannya tidak lagi diserahkan atas kehendak pemeluknya,
tetapi ditunjuk seperangkat jajaran penguasa dan instansi negara sebagai aparat
pengawas dan pelaksanaan penerapannya. Dengan adanya seperangkat jajaran
penguasa dan instansi kekuasaan negara yang ikut campur mengawasi
pelaksanaannya, sepanjang hal-hal yang mnyangkut bidang perkawinan, hibah,
wasiat, wakaf, dan warisan, telah diangkat sebagai aturan yang menyangkut
ketertiban umum.
Dengan demikian, kelahiran KHI
sebagi hukum positif dan unifikatif, maka praktik private affairs
disingkirkan. Sejak KHI lahir dimulai sejarah baru di Indonesia, yang
mengangkat derajat penerapan hukum Islam sebagai hukum perdata yang resmi dan
bersifat publik yang dapat dipaksakan penerapannya oleh alat kekuasaan negara,
terutama oleh Badan Peradilan Agama. Adanya pemerataan ke arah paham yang
menempatkan hukum Islam yang diatur dalam KHI sebagai hukum perdata yang resmi
dan positif, yang memiliki sanksi yang dapat dipaksakan oleh lat kekuasaan
negara, sungguh masih berat. Sampai sekarang masih banyak dijumpai kasus
perceraian (talak) liar di luar pengadilan. Masih terjadi hal-hal yang lain
tidak melalui prosedur hukum Islam yang berlaku di Indonesia.
H.
Beberapa Permasalahan dalam
Kompilasi Hukum Islam
Paradigma unifikasi hukum pada ranah keluarga terlihat
secara nyata diterapkan negara pada kasus Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Penyeragaman sistem hukum ini absah saja dilakukan asalkan memenuhi prinsip
keadilan gender dan pluralisme beragama. Tapi kenyataan di lapangan seringkali
berkata lain. Banyak produk fikih yang direkrut dalam KHI justru bersifat
diskriminatif terhadap perempuan dan tidak memiliki semangat proteksi terhadap
kepentingan anak-anak.
Paradigma unifikasi hukum pada ranah keluarga terlihat
secara nyata diterapkan negara pada kasus Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Penyeragaman sistem hukum ini absah saja dilakukan asalkan memenuhi prinsip
keadilan gender dan pluralisme beragama. Tapi kenyataan di lapangan seringkali
berkata lain. Banyak produk fikih yang direkrut dalam KHI justru bersifat diskriminatif
terhadap perempuan dan tidak memiliki semangat proteksi terhadap kepentingan
anak-anak.
Dari perspektif pemerintah, KHI ingin ditingkatkan statusnya
dari sekadar Inpres menjadi UU. Sekarang, kita punya Rancangan Undang-undang
(RUU) tentang wakaf, yang menjadi salah satu bagian dari KHI. KHI itu sendiri berisi tiga masalah pokok,
yaitu soal perkawinan, pewarisan, dan perwakafan.
1. Menurut Dr. Siti Musdah Mulia, MA.,
staf ahli Menteri Agama bidang Organisasi dan Hukum. ”Ditilik dari segi isi, KHI sangat konservatif. Dilihat dari perspektif
kalangan feminis, khususnya dari aspek kesetaraan gender, banyak sekali pasal
yang tak sesuai dengan aspirasi keadilan gender. Misalnya, pasal kewajiban
suami-istri, pembagian harta kekayaan, dan hak perwalian. Menurut saya, nyaris
semua pasal yang ada mengandung persoalan, khususnya dalam hal inkonsistensi.
Karena itu, kami ingin sekali melakukan reformasi atas butir-butir KHI ini”.
2. Ketika berbicara kedudukan
suami-istri pada pasal 79 dijelaskan bahwa suami adalah kepala keluarga dan
istri adalah ibu rumah tangga. Jika dicermati lebih jauh, pasal ini telah
berhasil membakukan peran domestik rumah tangga pada perempuan. Perempuan hanya
bekerja di wilayah domestik, sementara laki-laki selalu di luar. Laki-laki
adalah pemimpin, sementara perempuan adalah yang dipimpin.
Padahal
kenyataan di masyarakat tidak selamanya demikian. Kalau dalam pasal tersebut
laki-laki ditempatkan sebagai kepala keluarga, Biro Pusat Statistik (BPS)
justru mengatakan bahwa satu dari sembilan keluarga di Indonesia dikepalai oleh
perempuan. Maka dari itu, kita melihat bahwa KHI kurang melihat realitas yang
ada di masyarakat.
3. Adanya inkonsistensi KHI dalam
persoalan Perkawinan. Dikatakan bahwa asas perkawinan Islam adalah monogami.
Tapi ayat lain mengatakan bahwa poligami dibolehkan dengan empat syarat yang
dikemukakan dalam pasal yang sama. Saya pikir, ada inkonsistensi antar-ayat
dalam satu pasal yang sama. Jika asasnya adalah monogami, maka tidak boleh ada
celah bagi poligami agar tak terjadi keresahan sosial. Ruang untuk itu mesti
dibatasi sesempit mungkin.
Ternyata
KHI masih memberi kelonggaran bagi terjadinya poligami. Itulah yang menjadi
titik keresahan kita, karena poligami menimbulkan berbagai dampak dalam wujud
problem sosial-budaya di masyarakat. Kita mempunyai data untuk memperkuat
proposisi ini.
4. KHI merupakan produk hukum yang
dicangkokkan begitu saja dari budaya Arab atau Timur Tengah yang kadang berbeda
sama sekali dengan realitas yang kita jumpai di Indonesia.
Jadi,
perlu dikembangkan hukum Islam yang sesuai dengan konteks kita di Indonesia
agar bisa mengadopsi budaya dan realitas yang kita hadapi. Jika tidak, akan
terjadi kesenjangan luar biasa antara hukum dan realitas masyarakat itu
sendiri. Kalau begitu adanya, apa gunanya produk hukum kita buat.
5. Yang paling mendasar adalah, pertama,
mengubah keseluruhan pasal-pasal KHI yang masuk kategori bias gender dan tidak
memberi perlindungan memadai terhadap hak-hak perempuan dan anak-anak. Kedua,
dari perspektif pluralisme agama, juga terdapat banyak hal yang harus kita
ubah. Kita berkeinginan agar KHI lebih mantap posisinya dalam konteks
pluralisme agama, serta dalam konteks membangun masyarakat Indonesia yang lebih
demokratis.
6. Mengenai hak waris
perkawinan beda agama adalah sebagai berikut Pasal 171 sub c Kompilasi Hukum
Islam: Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai
hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan
tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.
7. Guru Besar Universitas Indonesia
Prof. H.M Tahir Azhary, berpendapat, perbedaan agama seharusnya menghalangi
seseorang untuk mendapatkan hak waris. Paling tidak, begitulah prinsip hukum
Islam. “Ada Sunnah Rasul, tidak mewaris orang beriman dari orang yang tidak
beriman, demikian sebaliknya”.
I. Seputar Waris Islam vs Kompilasi
Hukum Islam
Di dalam KHI diatur mengenai hak
seorang ahli waris dapat terhalang, apabila ada putusan hakim yang telah
berkekuatan hukum tetap, menghukumnya karena:
- Dipersalahkan membunuh atau
mencoba membunuh atau menganiaya berat pada pewaris;
- Dipersalahkan secara memfitnah
telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan
yang diancam dengan hukuman 5 tahun penjara atas hukuman yang lebih berat.
Syarat Waris
Berdasarkan Ijma (kesepakatan para
ulama), ada 3 syarat waris, yaitu:
- Orang yang akan mewaris
benar-benar sudah meninggal;
- Ahli waris benar-benar masih
hidup;
- Tidak ada penghalang sebagai
ahli waris.
Terkait dengan syarat nomor 2
di atas, terdapat perbedaan pengaturan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Dimana dalam Pasal 185 KHI disebutkan adanya hak dari Ahli Waris Pengganti
apabila ahli waris asal sudah meninggal lebih dulu daripada pewaris.
Pasal 185 KHI
“1. Ahli waris yang meninggal lebih
dahulu daripada si Pewaris, maka kedudukannya dpat digantikan oleh anaknya,
kecuali mereka yang tersebut dalam Pasal 173.
2. Bagian Ahli Waris Pengganti tidak
boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti.”
Dengan
demikian, Waris Islam tidak mengenal adanya ahli waris pengganti. Sehingga
bagian kepada ahli waris yang sudah meninggal tadi beralih kepada ahli waris
lainnya, mengingat waris hanya berlaku kepada orang yang masih hidup.